Apakah acrylic tahan terhadap senyawa aromatik

acrylic trap chamber

Senyawa aromatik adalah senyawa kimia yang memiliki ciri khas berupa cincin aromatik, yaitu cincin yang stabil dan memiliki sifat aroma yang khas. Cincin aromatik terdiri dari atom karbon yang terikat dengan atom hidrogen atau atom lainnya dalam konfigurasi tertentu.

Ciri khas utama dari senyawa aromatik adalah adanya ikatan pi (π) delokalisasi yang terbentuk di sekitar cincin aromatik. Ikatan pi delokalisasi ini memberikan stabilitas khusus pada cincin aromatik dan menyebabkan senyawa aromatik memiliki sifat reaktivitas dan kestabilan yang berbeda dari senyawa alifatik (non-aromatik).

Salah satu contoh senyawa aromatik yang paling dikenal adalah benzena (C6H6). Benzena memiliki cincin aromatik yang terdiri dari enam atom karbon yang saling terhubung dengan ikatan pi delokalisasi. Senyawa aromatik lainnya termasuk naftalena, toluena, anilina, dan banyak senyawa organik lain yang mengandung cincin aromatik.

Senyawa aromatik sering digunakan sebagai bahan baku dalam industri kimia, farmasi, dan material. Mereka juga memiliki peran penting dalam reaksi organik, sebagai katalis, dan sebagai bahan kimia dalam banyak aplikasi, seperti pewarna, parfum, polimer, dan bahan bakar.

Acrylic umumnya memiliki ketahanan yang terbatas terhadap senyawa aromatik, terutama senyawa aromatik yang agresif. Senyawa aromatik seperti benzene, toluene, dan xylene dapat berinteraksi dengan acrylic dan menyebabkan pelunakan, perubahan bentuk, atau kerusakan permukaan.

Ketahanan acrylic terhadap senyawa aromatik akan tergantung pada jenis senyawa, konsentrasinya, dan lamanya paparan. Senyawa aromatik yang lebih kuat atau konsentrasi yang lebih tinggi akan lebih mungkin merusak acrylic secara signifikan.

Jika Anda berencana menggunakan acrylic dalam lingkungan yang melibatkan paparan senyawa aromatik, disarankan untuk melakukan uji coba atau berkonsultasi dengan produsen acrylic atau ahli material untuk memastikan kompatibilitas dan ketahanan yang tepat.

Dalam kasus paparan senyawa aromatik yang kuat atau berkepanjangan, mungkin lebih baik mempertimbangkan penggunaan bahan alternatif yang dirancang khusus untuk ketahanan terhadap bahan kimia agresif tersebut.

Sebagai langkah pencegahan, selalu hindari kontak langsung acrylic dengan senyawa aromatik dan pastikan ventilasi yang memadai jika terjadi paparan.

Apakah acrylic tahan terhadap Thinner

acrylic set chamber for termite control lab.

Acrylic umumnya tidak tahan terhadap thinner atau pelarut yang mengandung bahan kimia agresif. Thinner, yang sering mengandung senyawa seperti toluena, xylene, atau aseton, dapat menyebabkan kerusakan pada permukaan acrylic.

Thinner atau pelarut yang digunakan secara langsung pada acrylic dapat menyebabkan pelunakan, kerusakan permukaan, atau perubahan bentuk. Kontak yang berkepanjangan atau paparan yang intens dapat lebih merusak acrylic secara signifikan.

Jika Anda mempertimbangkan penggunaan acrylic dalam konteks yang melibatkan thinner atau pelarut, disarankan untuk mempertimbangkan bahan alternatif yang lebih tahan terhadap bahan kimia tersebut, seperti bahan yang dirancang khusus untuk ketahanan terhadap pelarut organik. Selain itu, penting untuk selalu mengikuti panduan produsen acrylic dan menguji kompatibilitas bahan sebelum menggunakan mereka dalam aplikasi tertentu.

Pada umumnya, jika Anda berencana untuk menggunakan thinner atau pelarut dalam dekat dengan permukaan acrylic, penting untuk melindungi atau menghindari kontak langsung agar menghindari kerusakan pada acrylic.







Apakah acrylic tahan terhadap Basa

cylinder acrylic tank

Acrylic umumnya memiliki ketahanan yang baik terhadap basa lemah. Basa lemah seperti natrium hidroksida (pemutih) atau kalium hidroksida biasanya tidak akan menyebabkan kerusakan signifikan pada acrylic. Namun, ketika berhadapan dengan basa kuat, seperti amonia atau natrium hidroksida dalam konsentrasi tinggi, acrylic dapat mengalami korosi, pelunakan, atau perubahan permukaan.

Perlu dicatat bahwa reaktivitas acrylic terhadap basa dapat bervariasi tergantung pada jenis basa, konsentrasinya, dan suhu. Basa yang lebih kuat atau konsentrasi yang lebih tinggi dapat menghasilkan interaksi yang lebih signifikan dengan acrylic.

Jika Anda mempertimbangkan penggunaan acrylic dalam lingkungan yang melibatkan basa kuat atau paparan basa yang berkepanjangan, disarankan untuk melakukan uji coba atau berkonsultasi dengan produsen acrylic atau ahli material untuk memastikan kompatibilitas dan ketahanan yang tepat.

Perhatikan juga bahwa ketahanan acrylic terhadap basa dan asam dapat berbeda. Ketika memilih bahan untuk aplikasi tertentu, penting untuk mempertimbangkan sifat kimia dari zat yang akan digunakan dan memilih bahan yang sesuai dengan ketahanan yang dibutuhkan.






Apakah Acrylic Tahan Terhadap Asam ?

acrylic atau plexiglas
Acrylic, juga dikenal sebagai polymethyl methacrylate (PMMA), umumnya memiliki ketahanan yang baik terhadap asam lemah dan beberapa asam kuat dalam kondisi normal. Namun, reaktivitas acrylic terhadap asam akan bervariasi tergantung pada jenis asam dan konsentrasinya.

Asam lemah seperti asam asetat atau asam sitrat biasanya tidak akan menyebabkan kerusakan yang signifikan pada acrylic. Namun, ketika berhadapan dengan asam kuat seperti asam sulfat, asam nitrat, atau asam klorida dalam konsentrasi tinggi, acrylic dapat mengalami korosi, pelunakan, atau perubahan permukaan.

Apabila terjadi kontak dengan asam yang kuat atau dalam situasi di mana paparan asam berkepanjangan terjadi, baik pada acrylic maupun pada bahan lainnya, ada kemungkinan terjadinya kerusakan atau pelunakan material tersebut.

Untuk aplikasi di mana ketahanan terhadap asam sangat penting, disarankan untuk menggunakan bahan yang secara khusus dirancang untuk tahan terhadap bahan kimia agresif, seperti teflon atau bahan kimia tahan korosi lainnya.

Penting untuk selalu mempertimbangkan kondisi spesifik dan jenis asam yang akan digunakan dalam memilih bahan yang paling sesuai untuk aplikasi tertentu. Jika Anda memiliki kekhawatiran khusus tentang ketahanan acrylic terhadap asam tertentu, disarankan untuk memeriksa pedoman atau spesifikasi dari produsen acrylic atau berkonsultasi dengan ahli material.

Packed Column Distilasi

Packed distillation column model

Packed column distillation, atau disebut juga kolom distilasi berisi packing, adalah metode distilasi yang melibatkan penggunaan media pengisi atau packing di dalam kolom distilasi. Ini berbeda dengan distilasi menggunakan tray, di mana menggunakan pelat-pelat untuk memisahkan komponen cair dan uap.

material packing berupa potongan pipa akrilik diameter 12 mm

Dalam packed column distillation, kolom distilasi diisi dengan material packing berpori seperti kerucut, bola, atau berlian kecil. Material packing ini memiliki luas permukaan yang besar dan membentuk jalur tortuous (berliku-liku) di dalam kolom. Fungsi dari packing adalah menciptakan permukaan yang besar untuk kontak antara uap dan cairan dalam kolom.

Proses distilasi pada packed column distillation terjadi ketika campuran cair dipanaskan dan dimasukkan ke kolom distilasi. Uap yang terbentuk naik melalui kolom dan berinteraksi dengan cairan yang mengalir ke bawah. Kontak antara cairan dan uap terjadi di permukaan packing, di mana komponen yang lebih mudah menguap akan terlarut dalam uap dan naik ke atas kolom, sedangkan komponen yang kurang mudah menguap akan tetap dalam fase cair dan mengalir ke bawah.

Prinsip dasar dari packed column distillation adalah adanya kontak antara fase uap dan fase cair yang intensif di permukaan packing. Hal ini memungkinkan pemisahan yang efisien antara komponen-komponen dalam campuran berdasarkan perbedaan kevolatilan mereka. Semakin tinggi luas permukaan packing, semakin efisien proses distilasi dalam memisahkan komponen-komponen tersebut.

Packed column distillation sering digunakan dalam industri kimia dan petrokimia untuk pemisahan campuran yang lebih kompleks atau ketika campuran yang akan dipisahkan memiliki sifat fisikokimia yang serupa. Metode ini juga dapat memberikan efisiensi yang baik dalam pemisahan komponen yang sangat volatil atau ketika tekanan operasi rendah.

Destilasi bertingkat

Destilasi adalah proses pemisahan atau penyulingan suatu campuran berdasarkan perbedaan titik didih komponen-komponennya. Metode ini digunakan secara luas dalam berbagai industri, termasuk industri kimia, farmasi, minyak dan gas, serta produksi minuman beralkohol.



model kolom destilasi bertingkat tray

Prinsip dasar destilasi didasarkan pada perbedaan suhu didih komponen dalam campuran. Setiap zat memiliki titik didih tertentu, yaitu suhu di mana zat tersebut berubah menjadi uap secara signifikan. Pada destilasi, campuran dipanaskan hingga titik didih salah satu komponen tertentu tercapai. Komponen dengan titik didih lebih rendah akan mendidih terlebih dahulu dan berubah menjadi uap, sedangkan komponen dengan titik didih lebih tinggi tetap dalam bentuk cairan.

Vapor yang dihasilkan dari komponen dengan titik didih lebih rendah kemudian dikondensasikan kembali menjadi cairan melalui pendinginan, dan cairan hasil kondensasi tersebut disebut distilat. Proses ini dapat dilakukan dengan menggunakan alat destilasi seperti kolom destilasi, yang terdiri dari tray atau piringan untuk memungkinkan kontak antara uap dan cairan dalam kondisi yang lebih efisien. Proses ini dapat berulang-ulang dalam kolom destilasi dengan tujuan untuk meningkatkan pemisahan dan kemurnian distilat yang dihasilkan.

Destilasi dapat digunakan untuk berbagai tujuan, seperti pemurnian zat kimia, pemisahan komponen dalam minyak bumi menjadi fraksi-fraksi yang berbeda (misalnya bensin, diesel, dan minyak pelumas), produksi minuman beralkohol seperti vodka atau whisky, serta dalam pembuatan obat-obatan dan produk farmasi lainnya. Selain itu, destilasi juga dapat digunakan dalam proses pemurnian air, seperti dalam industri pengolahan air minum atau dalam pembuatan air murni untuk aplikasi laboratorium.

Destilasi adalah metode penting dalam dunia industri karena memungkinkan pemisahan komponen-komponen yang berbeda dalam sebuah campuran berdasarkan perbedaan sifat fisiknya. Hal ini memungkinkan kita untuk menghasilkan produk-produk dengan kemurnian yang tinggi dan memenuhi standar kualitas yang diperlukan.

Terdapat beberapa jenis model kolom destilasi bertingkat yang umum digunakan dalam industri. Berikut adalah beberapa contoh model kolom destilasi bertingkat yang sering digunakan:

Kolom Destilasi Tray atau Kolom Destilasi Plat: Model ini menggunakan tray atau piringan di dalam kolom destilasi untuk memisahkan campuran. Tray berfungsi sebagai tempat bagi cairan yang mengalir ke bawah dan uap yang naik ke atas. Pada setiap tray, terdapat permukaan yang luas sehingga cairan dan uap dapat berinteraksi untuk meningkatkan pemisahan komponen. Pada umumnya, tray memiliki bentuk seperti piringan dengan lubang-lubang atau celah untuk memungkinkan aliran cairan dan uap.

Kolom Destilasi Packing: Model ini menggunakan bahan pengisian atau packing di dalam kolom destilasi sebagai media kontak antara cairan dan uap. Packing ini berupa bahan seperti bola keramik, paket berbentuk spiral, atau berbagai bentuk lainnya yang memiliki permukaan luas. Pada saat cairan mengalir ke bawah melalui packing, uap naik ke atas melalui celah-celah antara packing. Interaksi antara cairan dan uap pada permukaan packing membantu dalam pemisahan komponen.

Kolom Destilasi Rektifikasi: Model ini menggunakan kombinasi tray dan packing di dalam kolom destilasi. Tray digunakan pada bagian bawah kolom untuk melakukan pemisahan awal, sementara packing digunakan di bagian atas untuk pemisahan yang lebih lanjut. Pada model ini, campuran masuk ke tray pertama dan mengalami pemisahan awal, kemudian cairan yang terpisah akan mengalir ke tray berikutnya atau melalui packing untuk pemisahan yang lebih lanjut.

Kolom Destilasi Refluks Total: Model ini menggunakan sistem refluks yang mengembalikan sebagian atau seluruh distilat ke dalam kolom. Sistem refluks ini dapat berupa kondensor di atas kolom yang mengkondensasikan uap dan mengalirkannya kembali ke kolom sebagai cairan. Metode ini meningkatkan pemisahan komponen dengan meningkatkan kontak antara cairan dan uap serta mengatur keseimbangan suhu dalam kolom.

Semua model kolom destilasi bertingkat ini dirancang untuk memaksimalkan pemisahan komponen dalam campuran berdasarkan perbedaan titik didihnya. Pilihan model kolom destilasi yang tepat tergantung pada sifat campuran, tujuan pemisahan, dan kebutuhan industri yang bersangkutan.

Carbon Capture Storage CCS dengan Fotobioreaktor FBR


Perubahan iklim semakin hari kian mengkhawatirkan. Peningkatan tinggi permukaan air laut menyebabkan abrasi di banyak garis pantai di dunia, bahkan daerah pesisir yang dulu tidak pernah terkena banjir rob air laut saat ini mulai terkena. Berbagai penelitian juga menyebutkan bahwa suhu bumi semakin meningkat akibat efek rumah kaca hasil dari pencemaran udara. Hal ini membuat es abadi di kutub utara dan selatan mencair dan makin menambah ketinggian air laut. Jika hal ini tidak diatas maka bumi akan mengalami kerusakan ekosistem yang masif yang dapat mengganggu kehidupan biota didalamnya termasuk manusia. Salah satu hal yang dituding sebagai biang kerok terhadap perubahan iklim ini adalah masifnya penggunaan bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil adalah sumber energi tidak terbarukan dan tidak berkelanjutan yang digunakan sebagai bahan bakar motor untuk berbagai tujuan seperti transportasi, pembangkit listrik, dan pertanian.

Dunia melalui forum kerjasama G20 berkomitmen dan berupaya menekan penggunaan bahan bakar fosil melalui pengembangan electric vehicle (EV). Diawali dengan pengembangan mobil listrik Tesla yang begitu fenomenal seolah menjadi starting point pengembangan electric vehicle bagi perusahaan otomotif besar lain seperti Hyundai, Nissan bahkan Xiaomi yang selama ini bergerak dibidang teknologi mobile kini ikut meramaikan pengembangan kendaraan listrik. 

Namun sayangnya listrik yang digunakan untuk menggerakan kendaraan-kendaraan tersebut bukan merupakan energi independen yang artinya baterai yang digunakan pada kendaraan tersebut harus tetap dicharge ataupun disuplai oleh pembangkit listrik. Pada mobil elektrik murni maka baterai harus diisi kembali setelah menempuh perjalanan sekian kilometer dan pada kendaraan hybrid ada yang menggunakan mesin berbahan bakar fosil sebagai pembangkit listrik untuk mengisi baterai yang dimilikinya. Energi listrik yang dihasilkan oleh pembangkit ini sebagian dihasilkan dari alam dan sebagian besar masih dihasilkan dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Artinya, meskipun kebutuhan akan bahan bakar fosil untuk transportasi darat berkurang akan tetapi kebutuhan untuk pembangkit listrik bisa jadi meningkat. Kebutuhan bahan bakar fosil untuk transportasi udara dan laut masih tetap tinggi karena pengembangan ke arah kendaraan elektrik belum begitu berkembang. Penggunaan bahan bakar fosil yang kemungkinan tetap tinggi dihadapkan pada permasalahan menipisnya cadangan bahan bakar fosil yang ada dan dunia ditantang untuk mencari bahan bakar alternatif lain yang lebih ramah lingkungan. 

Salah satu energi alternatif yang sudah dikembangkan adalah biodiesel. Secara global, biodiesel sebagian besar diproduksi dari minyak sawit (31%), kedelai (27%), minyak lobak (20%), dan minyak goreng bekas (10%). Di Uni Eropa, biodiesel dihasilkan dari minyak lobak (44%), minyak sawit (29%), minyak goreng bekas (15%), dan minyak kedelai (5%) dan sisanya berasal dari bunga matahari, kelapa, kacang tanah, rami, jarak pagar, jagung dan alga.

Pemanfaatan alga sebagai sumber energi alternatif terbarukan disamping sebagai carbon capture storage

Penelitian tentang Carbon Capture Storage (CCS) telah menjadi perhatian utama di kalangan ilmuwan dan akademisi dalam kurun waktu 5-10 tahun belakangan ini. Topik ini pada tahun-tahun mendatang diprediksi akan semakin menonjol mengingat semakin banyak pihak yang tertarik pada teknologi ini dalam upaya pencegahan terhadap gejala pemanasan global.

Gas karbondioksida (CO2) merupakan salah satu gas rumah kaca yang dominan diduga sebagai penyebab dalam permasalahan pemanasan global. Secara luas telah diketahui bahwa setiap aktivitas pembakaran bahan bakar fosil, khususnya dari industri, akan menghasilkan emisi CO2 dalam konsentrasi yang cukup tinggi (10-12%), yang membutuhkan penanganan yang serius.

Di Indonesia upaya penelitian tentang CCS lebih berkembang ke arah teknologi secara biologi dengan mengunakan fotobioreaktor (FBR). FBR merupakan reaktor yang dirakit dari bahan tembus pandang (gelas, akrilik, plastik) yang dilengkapi dengan instalasi suplay media dan emisi gas untuk mengkultur mikroalga dalam rangka penyerapan gas CO2. Teknologi FBR yang diterapkan pada mikroalga dinilai efektif mereduksi emisi CO2 karena kemampuan mikroalga dalam mengabsorbsi CO2 dalam proses fotosintesisnya.

Proses penyerapan CO2 oleh mikroalga terjadi pada saat fotosintesis, dimana CO2 digunakan untuk reproduksi sel-sel tubuhnya. Pada proses fotosintesis tersebut selain memfiksasi gas CO2, juga memanfaatkan nutrien yang ada dalam badan air. Nutrien dalam proses ini dapat berasal dari material yang sengaja ditambahkan atau dapat juga berasal dari material limbah cair. Penggunaan limbah cair sebagai input nutrien akan mengurangi biaya operasional FBR sekaligus meningkatkan performance FBR sebagai piranti penyerap emisi gas CO2 sekaligus memperbaiki kulitas limbah cair dalam suatu areal industri.

Beberapa keuntungan penggunaan alga dalam proses pengolahan limbah cair dalam industri antara lain, prinsip proses pengolahannya berjalan alami seperti prinsip ekosistem alam sehingga sangat ramah lingkungan dan tidak menghasilkan limbah sekunder. Keunggulan lainnya adalah pada proses ini daur ulang nutrien berjalan sangat efisien dan menghasilkan biomass yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan.

Dalam tulisan berjudul The Perspective of Large-Scale Production of Algae Biodiesel yang dipublikasikan pada 2020, Bosnjakovic dan Sinaga menyatakan bahwa penggunaan alga sebagai bahan baku produksi biodiesel memiliki hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman darat sebagai bahan bakunya. Beberapa spesies alga sperti Schizochytrium sp., Nitzschia sp., dan Botyococcus braunii mengandung lebih dari 50% minyak dalam biomassanya dan dapat diekstrak dan diproses menjadi baban bakar. Beberapa bahan bakar yang dapat diproduksi dari alga diantaranya bioetanol, biodiesel, metana, kerosen, biobutanol, biogas dan biodiesel ramah lingkungan. 

Proses pembuatan biofuel dari alga diawali dengan penumbuhan dan produksi alga dalam FBR. Hal yang perlu diperhatikan dalam tahap ini adalah kecukupan nutrient, CO2 dan sinar matahari. Seperti tanaman pada umumnya, alga membutuhkan sinar matahari dan CO2 untuk melakukan fotosintesis dan nutrien untuk pertumbuhannya. Tahap berikutnya adalah seleksi dan pemanenan. Seleksi dilakukan untuk memilah alga yang memiliki kandungan biofuel yang tinggi dalam biomassanya. Setelah dilakukan pemanenan, alga kemudian dikeringkan dan lemak diekstrak dengan cara merusak sel secara kimiawi maupun mekanis. Tahap selanjutnya adalah memisahkan lemak dengan asam lemak untuk diproses menjadi biodiesel. 

Namun, hingga saat ini, belum ada pihak yang benar-benar serius melakukan pembudidayaan alga secara besar. Di samping budidaya, hal lain yang perlu menjadi perhatian dalam wacana pemanfaatan alga sebagai sumber biofuel adalah proses ekstraksi minyak yang tidak mudah. 

Hal yang menjadi tantangan  adalah ukuran alga yang sangat kecil sehingga untuk memisahkan minyak dari cangkangnya membutuhkan usaha yang tidak mudah. Belum lagi, dengan ukurannya yang sangat kecil, saat ini belum ditemukan teknik untuk bisa melakukan pengekstakan secara masif.

Kalaupun saat ini sudah ada teknik pengekstrakan minyak dari alga, hal tersebut masih dalam skala laboratorium dan belum bisa diimplementasikan untuk skala besar.  Pengesktrakan minyak dari alga membutuhkan kerja sama dengan berbagai pihak dari bidang elektro untuk bisa memberi efek kejut dengan tujuan akhir melakukan pemisahan minyak dari alga. Namun, detail terkait teknik ini pun masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Untuk itu, guna merealisasikan pembiakan maupun ekstraksi sebagai sumber biofuel diperlukan kerja sama dengan industri baik untuk melakukan riset juga implementasinya kelak.

Foto :

Biomass Accumulation of Chlorella Zofingiensis G1 Cultures Grown Outdoors in Photobioreactors
June 2018
Frontiers in Energy Research 6


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...