Perubahan iklim semakin hari kian mengkhawatirkan. Peningkatan tinggi permukaan air laut menyebabkan abrasi di banyak garis pantai di dunia, bahkan daerah pesisir yang dulu tidak pernah terkena banjir rob air laut saat ini mulai terkena. Berbagai penelitian juga menyebutkan bahwa suhu bumi semakin meningkat akibat efek rumah kaca hasil dari pencemaran udara. Hal ini membuat es abadi di kutub utara dan selatan mencair dan makin menambah ketinggian air laut. Jika hal ini tidak diatas maka bumi akan mengalami kerusakan ekosistem yang masif yang dapat mengganggu kehidupan biota didalamnya termasuk manusia. Salah satu hal yang dituding sebagai biang kerok terhadap perubahan iklim ini adalah masifnya penggunaan bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil adalah sumber energi tidak terbarukan dan tidak berkelanjutan yang digunakan sebagai bahan bakar motor untuk berbagai tujuan seperti transportasi, pembangkit listrik, dan pertanian. Dunia melalui forum kerjasama G20 berkomitmen dan berupaya menekan penggunaan bahan bakar fosil melalui pengembangan electric vehicle (EV).
Diawali dengan pengembangan mobil listrik Tesla yang begitu fenomenal seolah
menjadi starting point pengembangan electric vehicle bagi
perusahaan otomotif besar lain seperti Hyundai, Nissan bahkan Xiaomi yang
selama ini bergerak dibidang teknologi mobile kini ikut meramaikan pengembangan
kendaraan listrik.
Namun sayangnya listrik yang digunakan untuk menggerakan
kendaraan-kendaraan tersebut bukan merupakan energi independen yang artinya
baterai yang digunakan pada kendaraan tersebut harus tetap dicharge ataupun
disuplai oleh pembangkit listrik. Pada mobil elektrik murni maka baterai harus
diisi kembali setelah menempuh perjalanan sekian kilometer dan pada kendaraan
hybrid ada yang menggunakan mesin berbahan bakar fosil sebagai pembangkit
listrik untuk mengisi baterai yang dimilikinya. Energi listrik yang dihasilkan
oleh pembangkit ini sebagian dihasilkan dari alam dan sebagian besar masih
dihasilkan dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Artinya, meskipun
kebutuhan akan bahan bakar fosil untuk transportasi darat berkurang akan tetapi
kebutuhan untuk pembangkit listrik bisa jadi meningkat. Kebutuhan bahan bakar
fosil untuk transportasi udara dan laut masih tetap tinggi karena pengembangan
ke arah kendaraan elektrik belum begitu berkembang. Penggunaan bahan bakar
fosil yang kemungkinan tetap tinggi dihadapkan pada permasalahan menipisnya cadangan bahan bakar
fosil yang ada dan dunia ditantang untuk mencari bahan bakar alternatif lain yang lebih ramah lingkungan.
Salah satu
energi alternatif yang sudah dikembangkan adalah biodiesel. Secara global,
biodiesel sebagian besar diproduksi dari minyak sawit (31%), kedelai (27%),
minyak lobak (20%), dan minyak goreng bekas (10%). Di Uni Eropa, biodiesel
dihasilkan dari minyak lobak (44%), minyak sawit (29%), minyak goreng bekas
(15%), dan minyak kedelai (5%) dan sisanya berasal dari bunga matahari, kelapa,
kacang tanah, rami, jarak pagar, jagung dan alga.
Pemanfaatan alga sebagai sumber energi alternatif terbarukan disamping sebagai carbon capture storagePenelitian tentang Carbon Capture Storage (CCS) telah menjadi perhatian utama
di kalangan ilmuwan dan akademisi dalam kurun waktu 5-10 tahun belakangan ini.
Topik ini pada tahun-tahun mendatang diprediksi akan semakin menonjol mengingat
semakin banyak pihak yang tertarik pada teknologi ini dalam upaya pencegahan
terhadap gejala pemanasan global.
Gas
karbondioksida (CO2) merupakan salah satu gas rumah kaca yang dominan diduga
sebagai penyebab dalam permasalahan pemanasan global. Secara luas telah
diketahui bahwa setiap aktivitas pembakaran bahan bakar fosil, khususnya dari
industri, akan menghasilkan emisi CO2 dalam konsentrasi yang cukup tinggi
(10-12%), yang membutuhkan penanganan yang serius.
Di Indonesia
upaya penelitian tentang CCS lebih berkembang ke arah teknologi secara biologi
dengan mengunakan fotobioreaktor (FBR). FBR merupakan reaktor yang dirakit dari
bahan tembus pandang (gelas, akrilik, plastik) yang dilengkapi dengan instalasi
suplay media dan emisi gas untuk mengkultur mikroalga dalam rangka penyerapan
gas CO2. Teknologi FBR yang diterapkan pada mikroalga dinilai efektif mereduksi
emisi CO2 karena kemampuan mikroalga dalam mengabsorbsi CO2 dalam proses
fotosintesisnya.
Proses
penyerapan CO2 oleh mikroalga terjadi pada saat fotosintesis, dimana CO2
digunakan untuk reproduksi sel-sel tubuhnya. Pada proses fotosintesis tersebut
selain memfiksasi gas CO2, juga memanfaatkan nutrien yang ada dalam badan air. Nutrien dalam proses ini dapat berasal dari material yang
sengaja ditambahkan atau dapat juga berasal dari material limbah cair.
Penggunaan limbah cair sebagai input nutrien akan mengurangi biaya operasional
FBR sekaligus meningkatkan performance FBR sebagai piranti penyerap emisi gas
CO2 sekaligus memperbaiki kulitas limbah cair dalam suatu areal industri.
Beberapa keuntungan penggunaan alga dalam proses pengolahan
limbah cair dalam industri antara lain, prinsip proses pengolahannya berjalan
alami seperti prinsip ekosistem alam sehingga sangat ramah lingkungan dan tidak
menghasilkan limbah sekunder. Keunggulan lainnya adalah pada proses ini daur
ulang nutrien berjalan sangat efisien dan menghasilkan biomass yang dapat
dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan.
Dalam tulisan
berjudul The Perspective of Large-Scale Production of Algae Biodiesel yang
dipublikasikan pada 2020, Bosnjakovic dan Sinaga menyatakan bahwa penggunaan
alga sebagai bahan baku produksi biodiesel memiliki hasil yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tanaman darat sebagai bahan bakunya. Beberapa spesies alga
sperti Schizochytrium sp., Nitzschia sp., dan Botyococcus
braunii mengandung lebih dari 50% minyak dalam biomassanya dan dapat
diekstrak dan diproses menjadi baban bakar. Beberapa bahan bakar yang dapat
diproduksi dari alga diantaranya bioetanol, biodiesel, metana, kerosen,
biobutanol, biogas dan biodiesel ramah lingkungan.
Proses
pembuatan biofuel dari alga diawali dengan penumbuhan dan produksi alga dalam FBR. Hal
yang perlu diperhatikan dalam tahap ini adalah kecukupan nutrient, CO2 dan
sinar matahari. Seperti tanaman pada umumnya, alga membutuhkan sinar matahari
dan CO2 untuk melakukan fotosintesis dan nutrien untuk pertumbuhannya. Tahap
berikutnya adalah seleksi dan pemanenan. Seleksi dilakukan untuk memilah alga
yang memiliki kandungan biofuel yang tinggi dalam biomassanya. Setelah
dilakukan pemanenan, alga kemudian dikeringkan dan lemak diekstrak dengan cara
merusak sel secara kimiawi maupun mekanis. Tahap selanjutnya adalah memisahkan
lemak dengan asam lemak untuk diproses menjadi biodiesel.
Namun,
hingga saat ini, belum ada pihak yang benar-benar serius melakukan
pembudidayaan alga secara besar. Di samping budidaya, hal lain yang perlu
menjadi perhatian dalam wacana pemanfaatan alga sebagai sumber biofuel adalah
proses ekstraksi minyak yang tidak mudah.
Hal
yang menjadi tantangan adalah ukuran alga yang sangat kecil
sehingga untuk memisahkan minyak dari cangkangnya membutuhkan usaha yang tidak
mudah. Belum lagi, dengan ukurannya yang sangat kecil, saat ini belum
ditemukan teknik untuk bisa melakukan pengekstakan secara masif.
Kalaupun
saat ini sudah ada teknik pengekstrakan minyak dari alga, hal tersebut masih
dalam skala laboratorium dan belum bisa diimplementasikan untuk skala besar. Pengesktrakan minyak dari alga membutuhkan kerja sama dengan berbagai pihak dari bidang
elektro untuk bisa memberi efek kejut dengan tujuan akhir melakukan pemisahan
minyak dari alga. Namun, detail terkait teknik ini pun masih memerlukan
penelitian lebih lanjut. Untuk itu, guna merealisasikan pembiakan
maupun ekstraksi sebagai sumber biofuel diperlukan kerja sama dengan industri
baik untuk melakukan riset juga implementasinya kelak.
Foto :
Biomass Accumulation of Chlorella Zofingiensis G1 Cultures Grown Outdoors in Photobioreactors
June 2018
Frontiers in Energy Research 6